Terjepitnya Kelas Menengah Indonesia di Tengah Krisis Ekonomi dan Kebijakan Pemerintah
Kata Kunci Utama: Kelas Menengah Indonesia,
Tekanan Ekonomi, Konsumsi Rumah Tangga, Subsidi Pemerintah, Krisis Ekonomi
Kondisi ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun
terakhir telah menimbulkan tekanan yang luar biasa bagi kelas menengah. Mereka,
yang seharusnya menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi, kini menghadapi
tantangan berat. Pendapatan yang stagnan di tengah meningkatnya biaya hidup
membuat mereka terpaksa mengandalkan tabungan untuk bertahan, sebuah fenomena
yang belakangan dikenal dengan istilah "makan tabungan" atau
"mantab".
Sementara itu, meski tidak cukup miskin untuk
mendapatkan bantuan pemerintah, kelas menengah juga tidak memiliki cukup dana
untuk berinvestasi atau membangun cadangan keuangan yang sehat. Situasi ini
semakin diperburuk dengan berbagai kebijakan pemerintah yang justru menambah
beban ekonomi mereka.
Menyusutnya Jumlah Kelas
Menengah di Indonesia
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan tren penurunan yang signifikan dalam jumlah kelas menengah
Indonesia. Pada 2019, jumlah kelas menengah masih mencapai 57,33 juta orang,
namun pada 2024 jumlah tersebut menyusut menjadi 47,8 juta. Dampak penurunan
ini sangat besar bagi perekonomian, mengingat lebih dari separuh pertumbuhan
ekonomi Indonesia berasal dari konsumsi rumah tangga.
Seiring dengan penurunan jumlah kelas menengah,
kontribusi mereka terhadap konsumsi rumah tangga juga berkurang dari 43,3%
menjadi hanya 36% dalam lima tahun terakhir. Ini mengindikasikan bahwa daya
beli kelas menengah terus melemah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi laju
pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Dampak Kebijakan
Pemerintah Terhadap Kelas Menengah
Pemerintah telah meluncurkan berbagai program
bantuan seperti subsidi, insentif pajak, dan program sosial lainnya untuk
membantu masyarakat, termasuk kelas menengah. Program seperti Kredit Usaha
Rakyat (KUR) dan Kartu Prakerja telah diperkenalkan sebagai bentuk jaring
pengaman sosial. Namun, efek dari program-program tersebut masih belum
sepenuhnya dirasakan oleh kelas menengah.
Di sisi lain, kebijakan pemerintah yang
menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025, serta
kewajiban potongan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), justru dianggap
sebagai "bom waktu" bagi kelas menengah. Kebijakan ini semakin
mempersempit ruang gerak finansial mereka, sehingga banyak dari mereka yang
terpaksa beralih ke pinjaman online (pinjol) ilegal dengan bunga tinggi, yang
hanya menambah beban keuangan mereka.
Menghadapi Masa Depan yang
Tidak Pasti
Dengan tekanan ekonomi yang kian meningkat,
banyak keluarga kelas menengah yang harus mengorbankan mimpi mereka untuk
memiliki tabungan atau investasi. Sebaliknya, mereka kini terjebak dalam
situasi di mana seluruh pendapatan habis untuk memenuhi kebutuhan dasar,
seperti makanan, minuman, dan cicilan.
Data dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
menunjukkan bahwa pertumbuhan tabungan masyarakat dengan nilai di bawah Rp100
juta terus menurun, sementara tabungan di atas Rp5 miliar justru meningkat. Hal
ini memperkuat kesan bahwa kesenjangan ekonomi semakin melebar, di mana yang
kaya semakin kaya, dan kelas menengah kian terjepit.
Tekanan Biaya Hidup yang
Meningkat
Salah satu penyebab utama terjepitnya kelas
menengah adalah meningkatnya biaya hidup. Harga kebutuhan pokok seperti makanan
dan minuman terus naik, sementara pendapatan tidak mengalami kenaikan yang
signifikan. Hal ini menyebabkan pendapatan kelas menengah habis hanya untuk
memenuhi kebutuhan dasar, tanpa tersisa untuk menabung atau membeli barang
non-esensial. Keadaan ini memaksa banyak dari mereka menguras tabungan untuk
bertahan hidup, bahkan sebagian harus berutang melalui pinjaman online ilegal
dengan bunga tinggi.
Tekanan ini diperparah dengan biaya
transportasi, pendidikan, dan perumahan yang juga meningkat. Sebagian kelas
menengah bahkan terpaksa mengorbankan kebutuhan sekunder seperti hiburan atau
tabungan pensiun demi bisa terus bertahan. Situasi ini memperlihatkan bahwa
kelas menengah kini berada di persimpangan yang sangat rentan, karena mereka
tidak lagi bisa merencanakan masa depan secara finansial.
Kesenjangan Ekonomi yang
Semakin Melebar
Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
mengungkapkan bahwa kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin nyata,
dengan tabungan di bawah Rp100 juta yang menurun, sementara tabungan di atas
Rp5 miliar justru meningkat. Fenomena ini memperkuat pandangan bahwa kekayaan
semakin terpusat pada golongan tertentu, sementara kelas menengah terus berada
di tengah-tengah, terjepit antara kelompok elit yang semakin kaya dan golongan
miskin yang mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Kondisi ini berbahaya bagi stabilitas ekonomi
jangka panjang, karena kelas menengah adalah motor penggerak utama konsumsi
domestik. Jika daya beli mereka terus tergerus, maka laju pertumbuhan ekonomi
akan ikut melambat. Kelas menengah yang dulunya dianggap sebagai pilar
stabilitas ekonomi kini berpotensi jatuh ke dalam jurang kemiskinan jika
kebijakan pemerintah tidak segera memberikan solusi konkret.
Peran Vital Kelas Menengah
dalam Ekonomi Nasional
Kelas menengah memiliki peran penting dalam
perekonomian, terutama melalui kontribusi mereka terhadap konsumsi rumah
tangga, yang menyumbang lebih dari separuh pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kekuatan konsumsi kelas menengah inilah yang mendorong laju pertumbuhan,
menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan investasi di sektor-sektor vital.
Namun, dengan menurunnya jumlah kelas menengah
dan berkurangnya daya beli mereka, roda perekonomian bisa terhenti. Pemerintah
harus menyadari bahwa keberlanjutan kelas menengah adalah kunci untuk
mewujudkan Indonesia sebagai negara maju. Solusi yang diberikan tidak cukup
hanya berupa insentif pajak atau subsidi, tetapi perlu ada upaya untuk
meningkatkan pendapatan dan mengurangi beban biaya hidup yang semakin mencekik.
Kelas menengah Indonesia kini berada di ambang
krisis, dan jika tidak segera diatasi, mimpi Indonesia untuk menjadi negara
maju bisa sirna. Pemerintah harus segera bertindak dengan kebijakan yang lebih
inklusif dan tepat sasaran untuk melindungi kelas menengah dari tekanan ekonomi
yang semakin besar.