Sabtu, 26 April 2025

QRIS dan GPN: Langkah Berani Indonesia Lawan Dominasi Finansial Amerika



Pernahkah Anda membayangkan bahwa setiap kali Anda menggesek kartu debit untuk membeli kopi atau makan siang, sebagian dari uang Anda justru mengalir ke luar negeri? Padahal, transaksinya terjadi di tanah air, dengan produk lokal, dan untuk kebutuhan Anda sendiri. Inilah ironi sebelum hadirnya GPN dan QRIS di Indonesia. Dan ketika Indonesia memutuskan untuk membangun sistem pembayaran sendiri, dunia – terutama Amerika – pun mulai gelisah.

Keputusan Indonesia untuk meluncurkan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) bukanlah sekadar inovasi teknologi. Ini adalah deklarasi kedaulatan digital, sebuah sikap tegas bahwa Indonesia tak lagi ingin jadi penonton di panggung ekonomi digital global. Artikel ini akan membahas lebih dalam mengapa langkah ini sangat strategis, dan mengapa Amerika merasa terusik karenanya.

Apa Itu GPN dan QRIS?

GPN adalah sistem yang mengintegrasikan transaksi antarbank secara nasional. Dengan GPN, kartu debit bank lokal bisa digunakan di semua mesin EDC dalam negeri, tanpa harus melalui jaringan asing seperti Visa atau Mastercard. Sementara QRIS adalah standar kode QR yang menyatukan berbagai dompet digital – dari OVO, Dana, Gopay, hingga ShopeePay – agar bisa digunakan cukup dengan satu kali scan.

Keduanya merupakan infrastruktur penting untuk menciptakan sistem pembayaran domestik yang efisien, murah, dan berdaulat. GPN diluncurkan oleh Bank Indonesia pada Desember 2017, sementara QRIS mulai diperkenalkan pada April 2019.

Kenapa Amerika Keberatan dengan GPN dan QRIS?

Jawaban singkatnya: karena Amerika kehilangan kontrol. Selama ini, setiap kali Anda menggunakan kartu Visa atau Mastercard, data transaksi Anda dikirim ke luar negeri. Amerika – lewat dua raksasa finansialnya – bukan hanya mendapatkan fee antara 1-3% dari setiap transaksi, tapi juga menyedot data perilaku konsumen Indonesia.

Data adalah kekayaan baru, "new oil" dalam era digital. Dengan data, mereka bisa membaca pola belanja, mengatur strategi bisnis, bahkan menentukan arah iklan yang muncul di gawai Anda. GPN dan QRIS memotong akses itu. Inilah yang membuat Amerika keberatan: mereka tak hanya kehilangan pendapatan, tapi juga kehilangan kendali.

Kerugian Indonesia Sebelum Hadirnya GPN dan QRIS

Sebelum ada GPN dan QRIS, Indonesia mengalami kebocoran devisa yang tidak kecil. Biaya transaksi yang tinggi membuat banyak pelaku UMKM enggan beralih ke sistem digital. Bahkan untuk belanja di dalam negeri, jaringan luar negeri tetap mengambil bagian. Ini bukan hanya merugikan secara finansial, tapi juga secara strategis.

Tanpa kedaulatan atas sistem pembayaran, Indonesia bergantung pada pihak asing untuk sesuatu yang sangat vital: uang dan data. Kondisi ini membuat sistem keuangan nasional rapuh dan rentan terhadap intervensi global.

Manfaat GPN dan QRIS bagi Indonesia

Dengan adanya GPN dan QRIS, Indonesia tidak hanya menghemat biaya transaksi, tapi juga mengamankan data transaksi warganya. Sistem ini memungkinkan semua bank dan aplikasi fintech lokal untuk saling terhubung dalam satu ekosistem yang inklusif dan efisien.

UMKM yang sebelumnya enggan digital karena biaya tinggi, kini bisa ikut arus ekonomi digital dengan biaya nyaris nol. Tak perlu lagi alat EDC mahal atau bayar fee ke luar negeri. Cukup QRIS dan smartphone, semua bisa ikut.

QRIS Melejit Saat Pandemi COVID-19

Pandemi COVID-19 membawa hikmah tersendiri bagi perkembangan QRIS. Kekhawatiran masyarakat terhadap penyebaran virus lewat uang tunai membuat pembayaran digital semakin digemari. QRIS pun menjadi solusi karena praktis dan bisa digunakan di hampir semua aplikasi.

Bank Indonesia dan para pelaku fintech lokal turut mendorong adopsi QRIS dengan masif. Hasilnya, jutaan UMKM kini sudah masuk dalam sistem pembayaran digital lewat QRIS. Tak hanya mempercepat inklusi keuangan, tapi juga memperkuat ekonomi digital nasional.

QRIS dan ASEAN Pay: Integrasi Regional

Menariknya, QRIS kini tak lagi terbatas untuk transaksi di dalam negeri. Bersama dengan negara-negara ASEAN lain seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina, Indonesia mulai membangun sistem pembayaran lintas negara yang terintegrasi. Turis Thailand bisa makan di Bali cukup dengan scan dompet digital lokalnya. Orang Indonesia bisa ngopi di Kuala Lumpur pakai QRIS.

Langkah ini disebut ASEAN Pay, embrio dari sistem pembayaran regional yang tidak tergantung pada Visa dan Mastercard. Negara-negara ASEAN sadar bahwa kedaulatan ekonomi digital tak bisa terus diserahkan kepada pihak asing.

Dampak Sistem Pembayaran Domestik Terhadap Raksasa Global

Visa dan Mastercard jelas merasakan dampaknya. Pendapatan miliaran dolar dari fee transaksi mulai menguap. Negara-negara besar seperti Indonesia, India, dan Brasil mulai membangun sistem pembayaran mandiri. Jika tren ini berlanjut, dominasi Visa dan Mastercard akan terkikis sedikit demi sedikit.

Bahkan stakeholder besar seperti Google Pay, Apple Pay, PayPal, dan Amazon Pay – yang selama ini bergantung pada jaringan Visa dan Mastercard – mulai memikirkan ulang strategi mereka. Kehadiran sistem seperti GPN dan QRIS menjadi ancaman nyata.

Ekosistem Digital Indonesia: Menuju Kemandirian

Di tengah dinamika global tersebut, Indonesia berhasil menciptakan ekosistem digital yang sehat dan saling terhubung. OVO, Dana, Gopay, ShopeePay, hingga LinkAja bukan lagi pesaing yang saling menjatuhkan, tapi mitra yang terhubung lewat QRIS.

Hal ini menciptakan iklim yang kondusif bagi UMKM untuk tumbuh. Biaya transaksi rendah, akses luas, dan data tetap tersimpan di dalam negeri. Ini bukan hanya soal efisiensi, tapi soal masa depan ekonomi nasional.

Jalan Menuju Kedaulatan Ekonomi Digital

Keberadaan GPN dan QRIS bukan sekadar inovasi teknologi, melainkan simbol kebangkitan ekonomi digital Indonesia. Amerika boleh keberatan, tapi Indonesia punya hak untuk menentukan nasib sistem keuangannya sendiri. Dan ketika negara-negara ASEAN bersatu, dominasi finansial global pun mulai goyah.

QRIS bukan cuma QR code. Ia adalah simbol perlawanan terhadap ketergantungan. Ia adalah alat pembebasan menuju ekonomi yang inklusif, efisien, dan berdaulat. Dan Indonesia, lewat langkah ini, telah menunjukkan bahwa kita siap berdiri di kaki sendiri.

Postingan Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *